Bakalbeda.com - Insiden penindakan seorang siswa yang tertangkap merokok di SMA Negeri 1 Cimarga, Lebak, Banten, mencapai penyelesaian melalui mekanisme kekeluargaan pada pertengahan Oktober 2025.
Peristiwa ini memicu respons masif berupa mogok sekolah serta intervensi institusional dari pemerintah daerah, mengakibatkan fasilitasi pertemuan dialogis antara administrator sekolah dengan representasi siswa.
Gubernur Banten dan aparatur Dinas Pendidikan terlibat aktif dalam proses mediasi yang menghasilkan kesepakatan damai, pencabutan status nonaktif kepala sekolah, dan komitmen reformasi terhadap mekanisme pembinaan serta saluran komunikasi institusional di sekolah.
Restorasi Kapabilitas Kepemimpinan Sekolah
Dini Pitria, yang semula mengalami pemberhentian sementara sebagai kepala SMAN 1 Cimarga pasca insiden penamparan siswa yang melakukan pelanggaran tata tertib merokok, kembali menjalankan fungsi administratifnya.
Pemerintah Provinsi Banten mencabut status suspensi berdasarkan pertimbangan kontinuitas akademik dan mitigasi risiko disrupsi institusional yang mungkin terjadi akibat mutasi kepemimpinan.
Rasionalisasi pencabutan status nonaktif menekankan bahwa keputusan awal bersifat profilaksis.
Gubernur Andra Soni menyatakan bahwa meskipun opsi pemindahan kepala sekolah tersedia, konsekuensi institusional dan preseden yang tercipta mempertimbangkan pertahankan posisi eksekutif.
Pemerintah provinsi mengklarifikasi bahwa suspensi merupakan mekanisme temporer untuk mempertahankan kondusivitas lingkungan pembelajaran, bukan penghukuman permanen, dengan mengimbau penerapan metodologi pembinaan yang lebih terorientasi pada dimensi edukatif.
Rekonsiliasi Tertutup dan Saling Pengampunan
Pertemuan privat antara Dini dan Indra Lutfiana Putra (17), siswa yang mengalami penindakan fisik, diinisiasi dan difasilitasi langsung oleh Gubernur Banten pada 15 Oktober.
Interaksi dialogis tersebut menghasilkan pernyataan saling memaafkan dari kedua pihak, mengakhiri konflik melalui penyelesaian nonlitigasional.
Indra menyampaikan pengakuan kesalahan atas pelanggaran tata tertib. Kepala sekolah merespons dengan ungkapan penebusan kesalahan dan harapan penerimaan yang autentik dari siswa.
Proses rekonsiliasi berlangsung di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Banten Kota Serang, tanpa kehadiran wali siswa, dengan pendampingan eksklusif dari pendidik pembimbing.
Demonstrasi Siswa: Manifestasi Akumulasi Ketidakpuasan
Sebelum pencapaian mediasi, ratusan siswa melakukan penghentian kegiatan belajar mengajar untuk menuntut penerapan mekanisme disiplin yang berkarakter humanistik tanpa menggunakan kekerasan.
Mobilisasi massa siswa menciptakan tekanan institusional yang memicu proses klarifikasi dan fasilitasi oleh otoritas lokal.
Partisipan aksi penghentian kegiatan menandaskan bahwa tuntutan mereka bukan bertujuan mempertahankan praktik pelanggaran tata tertib.
Motivasi fundamental berakar pada akumulasi perlakuan yang menimbulkan ketidaknyamanan, termasuk penggunaan bahasa verbal yang agresif dan penerapan penindakan yang terkesan arbitrer.
Siswa mengcharakterisasi insiden penamparan sebagai puncak dari sederetan pengalaman negatif yang telah ditoleransi secara kolektif.
Laporan dari siswa kelas XI mendeskripsikan pola perilaku kepala sekolah yang menciptakan atmosfer sekolah yang tidak kondusif, ditandai dengan ledakan amarah spontan dan penggunaan bahasa kasar dalam berinteraksi dengan peserta didik.
Perilaku tersebut menciptakan disrupsi terhadap proses pembelajaran dan mengompromikan pembelajaran kognitif siswa.
Rencana aksi kolektif tersebar melalui mekanisme komunikasi informal antar siswa. Keputusan penghentian kegiatan dicapai tanpa koordinasi terstruktur, namun menunjukkan tingkat kesepahaman dan solidaritas yang luar biasa tinggi di antara populasi siswa.
Mobilisasi spontan ini mengindikasikan kedalaman ketidakpuasan terhadap struktur kepemimpinan institusional dan mekanisme penerapan disiplin yang berlaku.***
0Comments