Breaking News

Apakah Museum Tekstil Dahulunya Merupakan Gedung Konsulat Turki Utsmani?

Bangunan yang digunakan sebagai Museum Tekstil sudah ada sejak abad ke-19, benarkah dahulunya adalah kantor Konsulat Turki Utsmani di Batavia


Oleh: Dr. Alwi Alatas


Hidayatullah.com | PADA tahun 1976, pemerintah Republik Indonesia mendirikan Museum Tekstil di Petamburan, Jakarta (“Daya Tarik Museum Tekstil,” 28 Juli 2022). Bangunan yang digunakan sebagai Museum Tekstil tersebut merupakan gedung tua yang sudah ada sejak abad ke-19.


Gedung itu dibangun oleh seorang berkebangsaan Perancis dan kemudian dibeli oleh Sayyid Abdul Aziz (Heuken, 2000: 277). Sayyid Abdul Aziz adalah konsul Turki Utsmani yang pertama di Batavia.


Belakangan berkembang anggapan, setidaknya oleh sebagian orang, bahwa Gedung Museum Tekstil dahulunya adalah kantor Konsulat Turki Utsmani di Batavia. Apakah memang betul demikian? Tulisan ini berusaha untuk menelusuri benar atau tidaknya anggapan ini.


Pembukaan Konsulat Turki di Batavia


Sayyid Abdul Aziz merupakan seorang pedagang yang berasal dari Irak dan menetap di Batavia. Ia menikah dengan seorang puteri bangsawan lokal (Heuken, 2000: 291). Sumber lain menyebutkan bahwa istrinya yang bernama Rohani merupakan puteri dari Sentot Ali Basya. (Shahab, 2004: 3).


Pernikahan itu memberinya beberapa orang anak. Nantinya ia menikahkan puteri tertuanya, Maryam, dengan Abdullah bin Alwi Alatas.  


Sayyid Abdul Aziz ditunjuk sebagai konsul kehormatan (Honorary Consul) Turki Utsmani pada tanggal 17 Februari 1882 (Supratman, 2017: 35). Ditunjuknya seorang yang sudah menetap di Batavia sebagai konsul, dan bukan orang yang secara khusus dikirim dari Istanbul, tampaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor.


Pertama, Batavia secara geografis sangat jauh dari pusat pemerintahan Turki Utsmani dan pembukaan konsulat di kota ini memerlukan anggaran cukup besar yang pada awalnya tidak masuk dalam rencana pemerintah Turki Utsmani (Alatas & Tekin, 2022: 34).


Kedua, komunitas Arab (Hadrami) di Hindia Belanda dan Singapura merupakan yang paling aktif pada masa itu dalam menjalin hubungan dengan Turki Utsmani, antara lain dalam bingkai Pan-Islamisme.


Bagaimanapun, penunjukan Sayyid Abdul Aziz sebagai konsul Turki di Batavia ditolak oleh pemerintah Hindia Belanda (Scmidt, 1992: 86). Pada tahun berikutnya, pemerintah Turki Utsmani menunjuk seorang pejabat Turki, yaitu Ali Galib Bey, sebagai konsul di Batavia, dan pemerintah Hindia Belanda menerima penunjukkan itu dengan rasa terpaksa.


Pemerintah Hindia Belanda tidak berani menolak karena khawatir Turki Utsmani akan membalas tindakan itu dengan menutup konsulat Belanda di Jeddah.



Sejak saat itu, sejumlah konsul Turki diutus untuk menjalankan tugas di Batavia. Nama-nama mereka berikut tahun penunjukan atau awal bertugasnya adalah kurang lebih seperti berikut: Ali Galib Bey (1883), Rifki Bey (1886), Veli Chemsi Bey (1891), Fuad Bey (1895), Kiamil Bey (1897), Emin Bey (1899), Sadik Belig Bey (1900), Rassim Bey (1904), Erched Rachid Bey (1909), Refet Bey (1911).


Nama-nama tersebut adalah sebagaimana tertulis di koran-koran Belanda, yang sebagiannya mungkin terkorupsi dari nama aslinya. Perlu dicatat juga bahwa sebagian konsul ada yang kembali ke Turki atau Eropa lebih awal, sebelum nama penggantinya ditetapkan.


Adapun Sayyid Abdul Aziz, walaupun tidak sempat menjalankan tugas secara resmi di konsulat Turki, ia tetap dikenang sebagai salah seorang konsul Turki Utsmani.


Hampir semua konsul Turki mengambil perhatian terhadap agenda Pan-Islamisme, sehingga menimbulkan kejengkelan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Bahkan Kiamil Bey – tampaknya merupakan konsul Turki yang paling agresif berkaitan dengan hal ini – disebut oleh sebagian koran Belanda sebagai “tamu yang berbahaya” (een geverlijke gaast) (Alatas & Tekin, 2022: 34).


Di tempat lainnya, Snouck Hurgronje (1994: IX/1739-1740) menyebut Ali Galib Bey sebagai seorang yang “biasa berlagak seperti seorang komisaris pemerintah”. Hal ini antara lain disebabkan ia sering bertanya kepada para jemaah haji yang baru pulang ke Hindia Belanda tentang perlakuan yang mereka alami selama di perjalanan dan juga di konsulat Belanda di Jeddah.


Secara umum dapat dikatakan bahwa walaupun upaya Pan-Islamisme pada akhirnya tidak berhasil, aktivitas para pendukungnya telah menimbulkan kerepotan bagi pemerintah Hindia Belanda.


Gedung Museum Tekstil


Kembali ke persoalan konsulat Turki di Batavia, kita bertanya-tanya apakah pada masa itu memang sudah ada gedung konsulat resmi Turki di Batavia, dan jika ada di mana lokasinya? Apakah memang betul gedung Museum Tekstil adalah kantor konsulat Turki Utsmani di Batavia?


Sebagaimana disebutkan oleh beberapa sumber, Sayyid Abdul Aziz telah membeli rumah itu (gedung Museum Tekstil) dari pemilik sebelumnya. Kepemilikan gedung itu nantinya beralih ke menantunya, Sayyid Abdullah bin Alwi Alatas (Shahab, 2004: 3). Jika gedung itu merupakan kantor dinas resmi Turki Utsmani, maka bagaimana kepemilikannya dapat beralih ke menantu Sayyid Abdul Aziz?


Selain itu, tidak ada informasi yang mengindikasikan bahwa para konsul Turki yang lain bekerja di satu kantor konsulat yang sama. Boleh jadi ketika itu belum ada kantor dinas resmi bagi konsulat Turki. Masing-masing konsul mungkin menyewa rumah pribadi yang juga difungsikan sebagai kantor konsulat.


Kalaupun memang ada semacam rumah dinas, maka tempatnya tentu bukan di gedung Museum Tekstil yang merupakan tempat kediaman pribadi keluarga Sayyid Abdul Aziz dan keluarga Sayyid Abdullah bin Alwi Alatas. Kalaupun hendak dianggap bahwa gedung itu adalah kantor konsulat Turki, maka itu adalah kantor konsulat Turki Utsmani khusus pada masa penunjukkan Sayyid Abdul Aziz, yaitu pada tahun 1882.


Kalau begitu dari mana muncul anggapan bahwa gedung Museum Tekstil itu dahulunya adalah kantor konsulat Turki Utsmani? Kami tidak mengetahui persisnya tentang ini. Namun ada kemungkinan anggapan itu dipengaruhi oleh artikel yang ditulis oleh Allahyarham Alwi Shahab di Republika yang berjudul “Kantor Khilafah Ottoman Jadi Tempat Mengadu Rakyat Indonesia” (26 Juli 2017).



Artikel itu antara lain menulis “Gedung ini pernah dihuni Konsul Turki Sayed Abdul Azis Al Musawi saat Turki masih merupakan Kesultanan Ottoman (Khilafah Utsmani). Konsulat Khilafah Ottoman ini menjadi salah satu tempat mengadu bagi orang Indonesia dalam menghadapi kekejaman penjajahan Belanda.”


Saat membaca judul artikel dan kalimat di atas mungkin pembaca akan mendapat kesan bahwa gedung itu adalah kantor khilafah atau kantor konsulat Turki dan Sayyid Abdul Aziz hanya salah satu konsul Turki yang pernah bekerja di dalamnya. Tapi sebenarnya, fokus artikel itu hanya pada peranan Sayyid Abdul Aziz saja, dan bukan pada para konsul Turki yang lain.


Dengan kata lain, tidak salah jika dianggap gedung itu adalah kantor konsulat atau kantor khilafah Turki Utsmani pada era Sayyid Abdul Aziz. Tetapi tidak tepat jika hal yang sama digunakan untuk era konsul Turki yang lain.


Sebetulnya artikel Alwi Shahab di atas juga menyebutkan bahwa rumah itu kemudian dibeli oleh menantunya:


“Setelah Konsul Turki ini meninggal (1885) rumah tersebut berikut dua buah rumah yang berada di kiri kanannya, masing-masing Jl Petamburan (Jl Karel Satsuit Tubun No 2 dan No 6) dibeli menantunya, Sayed Abdullah bin Alwi Alatas. Ia kemudian merenovasinya sebagaimana bentuknya sekarang ini.”


Kalimat itu menegaskan bahwa tidak terlalu lama setelah tahun penunjukannya sebagai konsul, Sayyid Abdul Aziz wafat dan rumahnya dibeli oleh menantunya.


Selain itu, ada informasi lainnya yang kurang akurat terkait dengan Sayyid Abdul Aziz. Nama lengkapnya misalnya ditulis sebagai Sayyid Abdul Aziz al-Musawi al-Katiri (“Daya Tarik Museum Tekstil,” 28 Juli 2022; “Museum Tekstil Jakarta,” n.d.; Yusuf, 1 Januari 2021). Informasi ini tampaknya bersumber dari keterangan resmi yang terpampang di Museum Tekstil sendiri (Waliyadi, n.d.).


Al-Musawi dan al-Katiri adalah dua nama keluarga yang tidak memiliki keterkaitan satu sama lain dan pada dasarnya tidak dapat disandang sekaligus oleh satu orang. Al-Musawi digunakan oleh mereka yang bernasab kepada Sayyid Musa al-Kadzim bin Ja’far Shadiq. Mereka yang menggunakan nama keluarga ini banyak terdapat di kawasan Irak dan sekitarnya. Sementara al-Katiri merupakan nama keluarga yang berasal dari Hadramaut.


Sebagian sumber sejarah mengkonfirmasi bahwa nama keluarga Sayyid Abdul Aziz adalah al-Musawi (Arai, 2004: 246). Sayyid Abdul Aziz lahir di Baghdad dan ayahnya lahir di Konstantinopel/Istanbul (“Nederlandsch Indie,” 13 Maret, 1889, p. 7). Ia jelas bukan seorang Hadrami dan tentunya tidak memiliki nama keluarga yang biasa digunakan oleh orang-orang Hadrami. Jadi kemungkinan nama di atas salah tulis.  Mungkin yang dimaksud adalah al-Musawi al-Kadzimi, bukan al-Musawi al-Katiri. Wallahu a’lam.*Kuala Lumpur,7 Rabiul Awwal 1444/ 4 Oktober 2022


Penulis adalah staf pengajar Sejarah dan Peradaban di International Islamic University Malaysia (IIUM)


Daftar Pustaka



Rep: Admin Hidcom

Editor: -



The post Apakah Museum Tekstil Dahulunya Merupakan Gedung Konsulat Turki Utsmani? appeared first on Hidayatullah.com.






source https://hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2022/10/06/237875/apakah-museum-tekstil-dahulunya-merupakan-gedung-konsulat-turki-utsmani.html

0 Komentar

Posting Komentar
© Copyright 2023 - Bakal Beda